Alhafiz Kurniawan

2

CERITA SUNGAI TANAH ABANG

19 Jan 2011 | Author: Alhafiz | Label:

“Alah mak, pas betul uang di saku ini. Enam puluh ribu dengan daftar belanjaan kitab yang bermacam judul. Murid-murid kecil itu akan menyanyi tak karuan kalau saja satu judul yang kujanjikan tak kusorongkan di hadapan mereka. Pening dan jengkel aku dengar rengekan mereka,” pikirku dalam hati.

Dengan langkah pasti, aku pilih angkutan umum menuju Pasar Tanah Abang. Mengantongi uang pas, aku tak mau pilih resiko mengendarai sepeda motor. Jam 11 lewat aku menunggu angkutan. Matahari begitu menepuk sekujur tubuhku. Sampai di dalam, banyaklah aroma kudapat. Maklumlah, jalur yang dilewati angkutan ini terbilang kawasan ramai, Gelora Bung Karno, swalayan, kampus, dan rumah sakit. Mulai dari segar sorga wangi karyawati berangkat kerja hingga karat tubuh bis yang kutumpangi penuh luka berdesakan masuki hidungku.

Angkutan selesai jalankan tanggung jawabnya untuk kemudian berputar menuju Pasar Ciputat. Empat langkah kutinggalkan angkutan, langit berwajah gelap. Sampai di langkah ke sepuluh, gerimis disusul air deras menghujani kami. Jarak putaran bus sampai Pasar menyedot langkahku sejauh tiga ratus meter lebih. Kepingan air yang yang ditumpahi langit memaksa keramaian berlari kecil. Aku tidak masuk pengecualian. Di tengah jalan sebelum pasar, kutemukan persinggahan teduh. Ya, dengan sejumlah titik air di kaos dan kepala setengah basah, kupanjati anak tangga jembatan penyeberangan tua yang menghubungkan dengan ruko pasar bagian belakang (depan atau belakang ku tak paham). Entah kapan jembatan itu dimatikan bagian satunya? Entah politis atau ekonomis menajdi alasan, ku tak mengerti? Kulewati mereka yang bernaung di kaki jembatan.

Kukibaskan mutiara-mutiara di tangan dan wajah sambil memandang sungai busuk bersanding kereta lalu-lalang berdengus letih. Ya, bagai petugas mercusuar kuteropong segala apa dari ketinggian. Seorang pedagang asongan sejenak menghentikan percakapan dengan seorang wanita, hanya untuk menjajakan kopi panas. Ku hanya balas dengan senyum sambil angkat sebelah tangan. Mengetahui penolakanku, dia melanjutkan percakapannya. Seseorang dengan pakaian dekil sambil memegang sebungkus rokok, lalu-lintas berulang dengan gerak mimik dan suara halus namun tegas menimbulkan kecurigaanku. Sepertinya orang ini terganggu jiwanya. Seorang lagi lelaki usia 40-an memandang kosong arah langit.

“Kurang ajar! 10 menit berlalu langit tak juga menghentikan tangisnya,” desahku. Ku menggeragapi tas sangkilan, mengusut sebungkus rokok yang tak lagi genap. “Sialan, aku tak punya api.” Sambil senyum kudatangi lelaki dengan mata hampa. “Terima kasih pak,” kubilang padanya sambil menyerahkan korek api miliknya. Kuhisap dalam-dalam rokok kretekku seraya menghadap sungai kotor dan kereta dengan nafas setengah hidup. Kebisingan pasar, siul klakson kereta api, nyanyian hujan dan deru angin, masuk segala dalam telinga. Di sela kebisingan yang rumit, wanita itu mengisi tawa genit dan nakal percakapannya terhadap pengasong seraya memainkan matanya, persis penari Bali. Sesekali kulirik keduanya untuk memastikan pendengaranku.

Seperempat batang rokokku hangus terbakar. Azan Zuhur, benar aku tidak keliru. Ku lanjutkan menghisap kretek itu, mendesak udara sekitarku dengan kepulan asap yang sebelum dan masih dihujani langit. Kupegangi pagar yang mendindingi jembatan penyeberangan itu. betapa bersemangatnya sungai itu di kala hujan. Langit boleh hitam, air kewajibannya menghujani, dan angin berhak menghempas. Sampah, keserakahan, kedengkian dan ludah manusia kota ditampungnya. Tetapi gelora dan daya hidup sungai ini patut kuteladani. Kotor memang. Namun, dorongannya membentuk pusaran-pusaran air, cukup menghiburku. Dari sisi kiri, terdapat gerakan-gerakan, mendekat sepertinya. Perhatianku pada sungai terhenti. Kulihat wanita lawan bercakap pengasong menghampiriku. Langkahnya cukup manja. Tangannya merambat pada pagar jembatan. Ya dia tersenyum mendekat, ku meringis pula dan semakin melebar bibirku mengiringi gerakan mendekatnya padaku. “Apa maksudnya orang ini,” pikirku berwajah seri menduga kedatangannya. Kulihat dia berkaos ungu ketat dan jeans lebih ketat lagi. Wajahnya, ahh sepertinya dia bersolek. Alisnya ditambah garis tipis penghitam. Kutaksir usianya 28an. Kulitnya masih kencang mengikat dagingnya.

“Sendirian dik?” bilangnya ramah.
“Hmm, iya mbak,” jawabku senyum.
Semakin berani tanyanya, “Mau kerja ya?”
“Nggak kok mbak, kerjaan apa masuk siang-siang begini,” senyumku menyeringai.
“Terus mau ke mana dong?” semakin manja dan sedikit malu.
Sambil mengepulkan asap ke arah berlawanan dari lawan bicaraku, “Saya mau ke toko buku di atas sana (menunjuk ke arah pasar yang agak menanjak, mungkin masih 200 meter lagi),”
 “Ohh…. Ini kan hujan dik ya.. Sebaiknya kita berteduh dulu di sana (seraya menunjuk ke deretan rumah berdinding papan di bawah jembatan, samping-menyamping rapat tembok rel-kereta dan sungai). Sembahyang Zuhur dulu. Terus istirahat, tidur-tiduran gitu. Enak tauuu, sambil nungguin hujan reda. Bagaimana dik?” senyumnya dan segan.

Tubuhnya menggeliat dengan setengah berdiri. Ku pun terus membarakan tembakau kretekku. Bara terus menjalari setengah kretekku hangus.
“Hmmm, wah saya belum minat gituan mbak.. Ehh anu mbak, maksud saya, saya belum kepikiran untuk itu. Saya lagi mikirin hujan berhenti dan barang yang mesti saya beli,” aku sangat terkejut. Persis di tengah siang begini, ada orang yang mengajak kencan. Alasan ekonomi mungkin paling tepat sebagai penjelasan, mengingat tempat tinggalnya sangat memprihatinkan.
“Ohh begitu ya dik.. Kirain adik mau main-main dulu!” mata yang penuh pupus harapan.
“Hehe nggak mbak,” setengah segan.
“Duh adik rokoknya kretek yahh… Kasihan, kamu masih muda dik… Jangan menghisap yang berat. Kalau mau, yang ringan-ringan aja,” anjurnya mengalihkan tema. Dia pun beranjak meninggalkanku.
“Hmm, hehe…” senyumku. Ternyata dalam kegelapan pasar dan mendung langit kota ini, aku masih mendengar kejernihan hati dan pikiran..

Tiga-perempat kretekku dilanda bara menjadi abu. Entah kemana dan berubah menjadi apa abu kretek, ku tak lagi menyisir langkahnya. Bang selesai. Langit berhenti menangis berangsur berseri. Ku beranjak menuruni jembatan penyeberangan. Menyempatkan sapa pengasong dan wanita muda itu sebelum beberapa langkah menapaki anak tangga. Juga lelaki bermata kosong penyedia korek rokokku. Sepanjang langkah menuju pasar, ku masih belum meyakini percakapanku dalam teduhan.. Senyum tanpa alasan, hanya itu yang bisa kulakukan mengisi perjalanan. Selamanya, kearifan tak bersarang dan tak berbuku, tak berhuruf… tak terduga… tak beralasan…



Jakarta Raya, 7 Januari 2011 02.30-8 Januari 2011 01.38
Alhafiz


2 komentar:

  1. ah bisa aja ngelesnya di ajak ngamar di kolong jembatan ga mao, gw yakin pasti tlisanx dah edit ulang, aslinya lw mao kan..hayo ngaku!! haha...
    --suhmao

  1. Hahaha, bung yang tak tergapai ini memang dahsyat... ilhamnya sungguh luar biasa. mungkin pengalaman yang menempa sang senior

Posting Komentar